Konsep Munâsakhât (مناسخات) Dalam Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia
Abstract
Munâsakhât, or successive inheritance, is a concept in Islamic inheritance law that governs the distribution of an estate when an heir passes away before the inheritance is distributed. In Indonesia, the application of munâsakhât often presents unique complexities, particularly within the framework of positive law and the practice of religious courts. This article explores the concept of munâsakhât in Islamic inheritance law as applied in Indonesia, including its definition, legal foundations, and implementation within the national legal system. By analyzing relevant literature and court decisions, the study aims to provide a comprehensive understanding of munâsakhât and its implications for inheritance law practices in Indonesia. The findings highlight how Islamic jurisprudence addresses complex inheritance scenarios and offers insights into harmonizing Islamic principles with Indonesia’s pluralistic legal system, thus facilitating equitable inheritance distribution in accordance with both religious teachings and state regulations.
References
Al-Khan, Musthafa . Al-Fiqh Alminhajy ‘Ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’iy .Damsyiq: Dar Al-Qalam, 1992.
Ali Al-Sabouni, Muhammad Al-Mawaris fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Jakarta: Dar Al- Kutub Al-Islamiyah, 2005.
Ar-Rahabi, Muhammad bin Ali Matnur Rahabiyyah dalam ar-Rabahiyyatud Dîniyyah, Semarang, Toha Putra, tanpa tahun.
Effendi M.Zein, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer-Analisis Yurisprudensi dengan pendekatah Ushuliyah, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1983.
Mustofa, Muhammad “Ahli Waris Pengganti Dalam KompilasiHukum Islam”.Inklusif vol. 2, No. 2 (2017).
Muhibbussabry, Jurnal: Hak Waris Mafqud (Orang Hilang) dan Penyelesaian dengan metode Mauquf (Penangguhan), (An-Natiq Jurnal Kajian Islam Interdisipliner:volume 4, Nomor 1:2024
Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’zn, cet 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Pasal 185 KHI berbunyi : (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 (terhalang menjadi ahli waris); Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian- bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Penjelasan bahwa Warkiyan meninggal pada tahun 1971 dan meninggalkan ahli waris seorang isteri yang bernama Taiti (sedangkan Tariyah telah meninggal lebih dahulu dari Warkiyan) beserta 4 orang anak yang terdiri dari dua orang anak perempuan dan dua anak laki-laki. 2) Taiti (ahli waris Warkiyan) meninggal pada tahun 1980 dan meninggalkan ahli waris dua orang anak yang terdiri dari satu anak perempuan dan satu anak laki-laki. 3) Casriyah (ahli waris Warkiyan) meninggal pada tahun 1994 dan meninggalkan satu ahli waris yaitu saudara kandung laki-laki. 4) Ambari (ahli waris Warkiyan) meninggal pada tahun 2004 dan meninggalkan ahli waris seorang isteri dan empat orang anak laki-laki. 5) Warmidi (ahli waris Warkiyan) meninggal pada tahun 2014 dan meninggalkan ahli waris seorang isteri dan empat orang anak perempuan yang serta satu saudari kandung. 6) Sripiah (ahli waris Warkiyan) meninggal pada tahun 2016 dan meninggalkan ahli waris 8 keponakan yang terdiri dari 4 keponakan laki-laki dari jalur saudara laki-laki seayah dan 4 keponakan dari jalur saudara sekandung perempuan
Ranti, Gadis “Pembagian Harta Warisan yang Sudah Tidak Jelas Keberadaan Tirkahnya Menurut Hukum Islam”, Risalah HUKUM Fakultas Hukum Unmul, (Desember, 2010).
Sarmadi, A.Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta:2006.
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam. Jakarta:2007.
Syarifuddin, Amir Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:2016.
Copyright (c) 2024 Islamic Law: Jurnal Siyasah
![Creative Commons License](http://i.creativecommons.org/l/by-sa/4.0/88x31.png)
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.